Tajdid secara bahasa ( lughawi ) berarti pembaharuan yakni proses memperbaharui sesuatu yang dipandang usang atau rusak. Adapun secara istilah, sebagaimana ditegaskan oleh Imam al-Syatibi, seperti dikutip oleh Syaikh Alawi, tajdid berarti menghidupkan ajaran Quran dan Sunnah yang telah banyak ditinggalkan umatnya, dan memurnikan pemahaman dan pengamalan agama Islam dari hal-hal yang tidak berasal dari Islam. ( Alawy bin Abdul Qadir As Saqaf, 2001: 22 ). Majelis Tarjih Muhammadiyah dalam muktamar tarjih ke XXII, 1989 di Malang merumus makna tajdid sebagai berikut :
Dari segi bahasa tajdid berarti pembaharuan dan dari segi istilah tajdid memiliki dua arti, yakni : (1). Pemurnian, (2). Peningkatan, pengembangan, modernisasi dan yang semakna dengannya. Pemurnian sebagai arti tajdid yang pertama, dimaksudkan sebagai pemeliharaan matan ajaran Islam yang berdasarkan dan bersumber kepada Al-Quran dan Sunnah Shahihah (Maqbulah). Sedangkan arti peningkatan, pengembangan, modernisasi dan yang semakna dengannya, tajdid dimaksudkan sebagai penafsiran, pengamalan, dan perwujudan ajaran Islam dengan tetap berpegang teguh kepada Al-Quran dan Sunnah Shahihah. Untuk melaksanakan tajdid dengan pengertian di atas, diperlukan aktualisasi akal pikiran yang cerdas dan fitri, serta akal budi yang bersih, yang dijiwai oleh ajaran Islam. Dalam hal ini Muhammadiyah berpendirian, tajdid adalah merupakan salah satu watak dari ajaran Islam. Pengertian atau batasan makna tajdid ala Muhammadiyah tersebut sesuai dengan pesan yang terkandung dalam hadits Rasulullah yang berbunyi :
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِنَّ اللهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِيْنَهَا (رواه أبو داود)
Dari Abu Hurairah ia berkata: Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya Allah mengutus bagi umat ini (Islam) pada setiap menghujung seratus tahun seseorang yang akan memperbaharui (mengadakan pembaharuan) bagi agamanya” (Diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud). (Muhammad Syamsul Haq al-Azhim, 1979:380).[1]
Tajdid dengan pengertian seperti itu bertujuan untuk memfungsikan Islam sebagai hudan, furqan dan rahmatan lil alamin, termasuk mendasari dan membimbing perkembangan kehidupan masyarakat, dan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan demikian, tajdid, bagi Muhammadiyah, harus senantiasa berpijak dari Al-Quran dan al-Sunnah, dan selanjutnya juga bermuara pada implementasi atas nilai-nilai ajaran Al-Quran dan al-Sunnah. Artinya, betapapun Muhammadiyah mengadopsi berbagai model pembaharuan dalam aspek pengembangan sumberdaya manusia, manajemen organisasi, strategi dakwah dan kebudayannya, tetapi Muhammadiyah selalu menunjukkan konsistensinya untuk kembali kepada spirit Al-Quran dan al-Sunnah.
Dimensi tajdid dalam Muhammadiyah meliputi: (1). Pemurnian aqidah dan ibadah, serta pembentukan akhlak mulia (al-akhlak al-karimah). (2). Pembangunan sikap hidup dinamis, kreatif, progressif, dan berwawasan masa depan. (3) Pengembangan kepemimpinan organisasi dan etos kerja dalam Pesyarikatan Muhammadiyah. Putusan Muktamar Tarjih ke XXII, 1989 di Malang tersebut selanjutnya menjadi pijakan Muhammadiyah dalam merespon perubahan masyarakat yang semakin kompleks, baik di bidang nilai-nilai kehidupan, sosial budaya, sosial ekonomi, politik dan sebagainya, dengan pesan pengarahan risalah Islam, yang dipahami secara dinamis dan konsisten terhadap pemurnian ajaran Islam.
Dalam konteks tugas khusus Majelis Tarjih yang membidangi pendalaman pemahaman dan pengamalan ajaran Islam serta pengembangan pemikiran Islam, konsep tajdid di atas menjadi pijakan dalam mengawal perkembangan pemikiran keislaman baik bagi internal Muhammadiyah maupun dalam merespon perkembangan pemikiran Islam secara umum.
Makna Tajdid dalam Sejarah Islam
Dari segi bahasa tajdid berarti pembaharuan dan dari segi istilah tajdid memiliki dua arti, yakni : (1). Pemurnian, (2). Peningkatan, pengembangan, modernisasi dan yang semakna dengannya. Pemurnian sebagai arti tajdid yang pertama, dimaksudkan sebagai pemeliharaan matan ajaran Islam yang berdasarkan dan bersumber kepada Al-Quran dan Sunnah Shahihah (Maqbulah). Sedangkan arti peningkatan, pengembangan, modernisasi dan yang semakna dengannya, tajdid dimaksudkan sebagai penafsiran, pengamalan, dan perwujudan ajaran Islam dengan tetap berpegang teguh kepada Al-Quran dan Sunnah Shahihah. Untuk melaksanakan tajdid dengan pengertian di atas, diperlukan aktualisasi akal pikiran yang cerdas dan fitri, serta akal budi yang bersih, yang dijiwai oleh ajaran Islam. Dalam hal ini Muhammadiyah berpendirian, tajdid adalah merupakan salah satu watak dari ajaran Islam. Pengertian atau batasan makna tajdid ala Muhammadiyah tersebut sesuai dengan pesan yang terkandung dalam hadits Rasulullah yang berbunyi :
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِنَّ اللهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِيْنَهَا (رواه أبو داود)
Dari Abu Hurairah ia berkata: Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya Allah mengutus bagi umat ini (Islam) pada setiap menghujung seratus tahun seseorang yang akan memperbaharui (mengadakan pembaharuan) bagi agamanya” (Diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud). (Muhammad Syamsul Haq al-Azhim, 1979:380).[1]
Tajdid dengan pengertian seperti itu bertujuan untuk memfungsikan Islam sebagai hudan, furqan dan rahmatan lil alamin, termasuk mendasari dan membimbing perkembangan kehidupan masyarakat, dan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan demikian, tajdid, bagi Muhammadiyah, harus senantiasa berpijak dari Al-Quran dan al-Sunnah, dan selanjutnya juga bermuara pada implementasi atas nilai-nilai ajaran Al-Quran dan al-Sunnah. Artinya, betapapun Muhammadiyah mengadopsi berbagai model pembaharuan dalam aspek pengembangan sumberdaya manusia, manajemen organisasi, strategi dakwah dan kebudayannya, tetapi Muhammadiyah selalu menunjukkan konsistensinya untuk kembali kepada spirit Al-Quran dan al-Sunnah.
Dimensi tajdid dalam Muhammadiyah meliputi: (1). Pemurnian aqidah dan ibadah, serta pembentukan akhlak mulia (al-akhlak al-karimah). (2). Pembangunan sikap hidup dinamis, kreatif, progressif, dan berwawasan masa depan. (3) Pengembangan kepemimpinan organisasi dan etos kerja dalam Pesyarikatan Muhammadiyah. Putusan Muktamar Tarjih ke XXII, 1989 di Malang tersebut selanjutnya menjadi pijakan Muhammadiyah dalam merespon perubahan masyarakat yang semakin kompleks, baik di bidang nilai-nilai kehidupan, sosial budaya, sosial ekonomi, politik dan sebagainya, dengan pesan pengarahan risalah Islam, yang dipahami secara dinamis dan konsisten terhadap pemurnian ajaran Islam.
Dalam konteks tugas khusus Majelis Tarjih yang membidangi pendalaman pemahaman dan pengamalan ajaran Islam serta pengembangan pemikiran Islam, konsep tajdid di atas menjadi pijakan dalam mengawal perkembangan pemikiran keislaman baik bagi internal Muhammadiyah maupun dalam merespon perkembangan pemikiran Islam secara umum.
Dalam perkembangan sejarah Islam, tajdid juga dipahami sebagai pembaharuan dalam kehidupan keagamaan, baik berbentuk pemikiran maupun gerakan, sebagai reaksi atau tanggapan terhadap tantangan internal maupun eksternal yang menyangkut keyakinan dangan urusan sosial umat Islam. Istilah tajdid atau pembaharuan juga sering digunakan dalam konteks gerakan Islam modern. Istilah ini juga mempunyai akar yang kuat pada Islam klasik (pra modern).
Tajdid pada masa klasik biasanya dihubungkan dengan upaya purifikasi untuk memperbaharui iman dan praktek Muslim. Tajdid mempunyai makna memperkuat dimensi spiritual iman dan praktek, seperti terlihat dalam karya al-Ghazali Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn dan karya Ibnu Taimiyah al-Radd ‘alâ al-Hulûliyah wa al- Ittihâdiyah. Pada masa modern, tajdid adalah upaya para salafi dan modernis Islam untuk memperkenalkan pengaruh Islam dalam kehidupan Muslim. Dengan demikian, ada dua kecenderungan di sini yakni kecenderungan salafi dan reformis/modernis (Khalil, 1995:431).
Pertama, kecenderungan gerakan salafi (seperti Muhammad Ibn Abdul Wahhab). Gerakan salafi sama sekali tidak berkaitan dengan pengaruh Barat. Gerakan ini lebih mengutamakan upaya pemurnian akidah Islam dari bahaya tahayul dan khurafat; pemurnian ibadah dari bahaya bid’ah. Gerakan ini berusaha membersihkan praktek dan pemikiran keagamaan dari unsur-unsur asing dengan menekankan pada tauhid. Ziarah dan pensucian atas para wali atau makam mereka ditolak karena mengandung kemusyrikan. Islam harus menjadi petunjuk hidup Muslim. Gerakan ini belum melihat kebutuhan untuk mereinterpretasi Islam agar sesuai dengan kehidupan modern, karena orientasinya pada masalah-masalah aqidah dan ubudiyah. (Ibid., hlm. 432).
Kedua, kecenderungan gerakan reformis/modernis (seperti: Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh). Gerakan ini memandang masyarakat muslim gagal menangkap spirit kemajuan dan perkembangan dalam seluruh aspek kehidupan yang telah dicapai Eropa. Para reformis tidak bermaksud mengundang westernisasi. Mereka justru mengkritik kebutaan dunia Muslim dalam melihat cara-cara Barat memperoleh kemajuan, mereka berusaha memperbaiki martabat kebesaran Muslim, dan Arab melalui peremajaan pemikiran dan praktek Islam (Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, 1993:42).
Dengan demikian, gerakan reformis/modernis berkaitan erat dengan Barat; berusaha merespon tantangan sebagai akibat kontak dengan Barat. Umat Islam sadar akan keterbelakangan dan stagnasi budaya dunia Islam. Mereka tidak hanya yakin bahwa Islam sesuai dengan sains, bahkan percaya bahwa kemajuan Eropa adalah hasil kontribusi peradaban Islam/Arab, mengakui peran akal bahkan menolak bahwa akal tidak sesuai dengan iman. Pembaharuan akan gagal jika ulama Muslim terus menganjurkan taqlid. Taqlid ditolak karena merupakan faktor terbesar stagnasi budaya di dunia Islam/Arab dan menyebabkan orang beriman tergantung pada tatsir-tafsir lama.
Pembaharuan di mata reformis/modernis adalah memperbaharui agama itu sendiri (lihat misalnya penggunaan definisi ini pada judul karya M. Iqbal, Reconstruction of Religious Thought in Islam (New Delhi, Kitab Bhavan, 1985) bukan karena Islam sudah tidak memadai, tetapi karena interpretasi dan reinterpretasi Islam adalah proses berkesinambungan. Mereka menganjurkan ijtihad, karena dengan ijtihad, problem modernitas dapat direspon dengan jawaban modern.
Perhatian utama para reformis berkaitan dengan upaya perbaikan pendidikan, status perempuan dalam masyarakat, politik, nasionalisme dan upaya modernisasi seluruh aspek kehidupan lainnya. Perbaikan pendidikan meliputi penyerapan sains; dan temuan-temuan baru ke dalam kurikulum institusi belajar Islam; modernisasi pendidikan sipil dengan tujuan untuk memberi kontribusi bagi kemajuan bangsa. Untuk mendudukan perempuan pada posisi yang adil. reformis menolak anggapan inferioritas mereka dalam bidang sosial dan hukum. Ketertindasan perempuan di dunia Islam adalah hasil dari kebodohan dan salah tafsir terhadap teks-teks Islam.
Reformis juga memandang keyakinan bahwa ulama tidak harus tunduk pada penguasa politik, kecuali dalam hal-hal yang berbahaya bagi kepentingan Muslim. Ulama hanya tunduk pada Tuhan dan bukan pada penguasa demi upah atau hadiah. Ulama harus berpikir independen dan tahan terhadap tekanan politik. Akhirnya, para reformis juga mengkaitkan upaya pembaharuan dengan kesadaran nasionalisme bangsa-bangsa Muslim untuk menentang penjajahan Eropa dan mendirikan negara-bangsa yang berdaulat. Dengan demikian, pambaharuan meliputi dimensi internal dan eksternal, dan kedua dimensi ini harus didekati secara simultan
[1] hadis ini dinyatakan sahih oleh Syeikh Muhammad Nasiruddin al-AlbÉnÊ, lihat al-Bani, ØaÍÊÍ wa ÖaÑÊf Sunan AbÊ DÉwud (Iskandariya: Markaz Nurul Islam, t.th), Juz 9 hlm. 291
Tajdid pada masa klasik biasanya dihubungkan dengan upaya purifikasi untuk memperbaharui iman dan praktek Muslim. Tajdid mempunyai makna memperkuat dimensi spiritual iman dan praktek, seperti terlihat dalam karya al-Ghazali Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn dan karya Ibnu Taimiyah al-Radd ‘alâ al-Hulûliyah wa al- Ittihâdiyah. Pada masa modern, tajdid adalah upaya para salafi dan modernis Islam untuk memperkenalkan pengaruh Islam dalam kehidupan Muslim. Dengan demikian, ada dua kecenderungan di sini yakni kecenderungan salafi dan reformis/modernis (Khalil, 1995:431).
Pertama, kecenderungan gerakan salafi (seperti Muhammad Ibn Abdul Wahhab). Gerakan salafi sama sekali tidak berkaitan dengan pengaruh Barat. Gerakan ini lebih mengutamakan upaya pemurnian akidah Islam dari bahaya tahayul dan khurafat; pemurnian ibadah dari bahaya bid’ah. Gerakan ini berusaha membersihkan praktek dan pemikiran keagamaan dari unsur-unsur asing dengan menekankan pada tauhid. Ziarah dan pensucian atas para wali atau makam mereka ditolak karena mengandung kemusyrikan. Islam harus menjadi petunjuk hidup Muslim. Gerakan ini belum melihat kebutuhan untuk mereinterpretasi Islam agar sesuai dengan kehidupan modern, karena orientasinya pada masalah-masalah aqidah dan ubudiyah. (Ibid., hlm. 432).
Kedua, kecenderungan gerakan reformis/modernis (seperti: Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh). Gerakan ini memandang masyarakat muslim gagal menangkap spirit kemajuan dan perkembangan dalam seluruh aspek kehidupan yang telah dicapai Eropa. Para reformis tidak bermaksud mengundang westernisasi. Mereka justru mengkritik kebutaan dunia Muslim dalam melihat cara-cara Barat memperoleh kemajuan, mereka berusaha memperbaiki martabat kebesaran Muslim, dan Arab melalui peremajaan pemikiran dan praktek Islam (Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, 1993:42).
Dengan demikian, gerakan reformis/modernis berkaitan erat dengan Barat; berusaha merespon tantangan sebagai akibat kontak dengan Barat. Umat Islam sadar akan keterbelakangan dan stagnasi budaya dunia Islam. Mereka tidak hanya yakin bahwa Islam sesuai dengan sains, bahkan percaya bahwa kemajuan Eropa adalah hasil kontribusi peradaban Islam/Arab, mengakui peran akal bahkan menolak bahwa akal tidak sesuai dengan iman. Pembaharuan akan gagal jika ulama Muslim terus menganjurkan taqlid. Taqlid ditolak karena merupakan faktor terbesar stagnasi budaya di dunia Islam/Arab dan menyebabkan orang beriman tergantung pada tatsir-tafsir lama.
Pembaharuan di mata reformis/modernis adalah memperbaharui agama itu sendiri (lihat misalnya penggunaan definisi ini pada judul karya M. Iqbal, Reconstruction of Religious Thought in Islam (New Delhi, Kitab Bhavan, 1985) bukan karena Islam sudah tidak memadai, tetapi karena interpretasi dan reinterpretasi Islam adalah proses berkesinambungan. Mereka menganjurkan ijtihad, karena dengan ijtihad, problem modernitas dapat direspon dengan jawaban modern.
Perhatian utama para reformis berkaitan dengan upaya perbaikan pendidikan, status perempuan dalam masyarakat, politik, nasionalisme dan upaya modernisasi seluruh aspek kehidupan lainnya. Perbaikan pendidikan meliputi penyerapan sains; dan temuan-temuan baru ke dalam kurikulum institusi belajar Islam; modernisasi pendidikan sipil dengan tujuan untuk memberi kontribusi bagi kemajuan bangsa. Untuk mendudukan perempuan pada posisi yang adil. reformis menolak anggapan inferioritas mereka dalam bidang sosial dan hukum. Ketertindasan perempuan di dunia Islam adalah hasil dari kebodohan dan salah tafsir terhadap teks-teks Islam.
Reformis juga memandang keyakinan bahwa ulama tidak harus tunduk pada penguasa politik, kecuali dalam hal-hal yang berbahaya bagi kepentingan Muslim. Ulama hanya tunduk pada Tuhan dan bukan pada penguasa demi upah atau hadiah. Ulama harus berpikir independen dan tahan terhadap tekanan politik. Akhirnya, para reformis juga mengkaitkan upaya pembaharuan dengan kesadaran nasionalisme bangsa-bangsa Muslim untuk menentang penjajahan Eropa dan mendirikan negara-bangsa yang berdaulat. Dengan demikian, pambaharuan meliputi dimensi internal dan eksternal, dan kedua dimensi ini harus didekati secara simultan
[1] hadis ini dinyatakan sahih oleh Syeikh Muhammad Nasiruddin al-AlbÉnÊ, lihat al-Bani, ØaÍÊÍ wa ÖaÑÊf Sunan AbÊ DÉwud (Iskandariya: Markaz Nurul Islam, t.th), Juz 9 hlm. 291
1 comments:
kunjungan balik sedulur... mantap neh reviewnya... warga muh sejati ni yea?
Posting Komentar